Wanita Penyapu Ranjau di Sudan yang mempertaruhkan Nyawa

Sudan (ANTARA) -- Ketika Faiza Annet melambaikan tangan kepada putrinya yang hendak bersekolah, sang putri lah yang justru mengingatkan ibunya agar berhati-hati. Faiza adalah bagian dari tim penyapu ranjau yang semua anggotanya perempuan, yang bekerja untuk mengamankan bekas medan pertempuran yang berbahaya di Sudan Selatan dan membuka lahan sehingga orang dapat kembali pulang ke rumah mereka.


"Putri saya memberitahu saya agar selamat setiap kali saya mengatakan selamat tinggal," kata Faiza, yang bekerja pada tim penyapu ranjau "Norwegian People`s Aid" (NPA). "Ini adalah pekerjaan penting. Saya menjadi perempuan penyapu ranjau karena saya menyaksikan teman-teman saya cedera, bahkan sebagian meninggal," kata perempuan berusia 27 tahun tersebut. Faiza, sambil berlutut di tanah di ujung jalur tipis yang dibersihkan melewati rumput tebal dan tinggi, secara perlahan memasang penanda plastik pada tempat yang berpotensi berisi ranjau.

Faiza mengakui, pekerjaan sebagai penyapu ranjau adalah pekerjaan berat, namun ia membuktikan, perempuan pun bisa melakukan pekerjaan itu. Para perempuan penyapu ranjau, seperti Faiza, harus berjuang keras untuk meyakinkan masyarakat, bahwa mereka dapat melakukan pekerjaan yang dianggap oleh banyak orang sebagai peran khusus buat pria. "Mula-mula itu tidak mudah," kata Faiza, sambil menyemprotkan air ke satu daerah yang dicurigai guna membuat lunak tanah yang terbakar sinar matahari, sehingga memungkinkan dia secara perlahan melakukan penyelidikan. "Orang mengira saya mungkin mengorbankan diri saya untuk mati, karena ranjau adalah sesuatu yang sangat berbahaya," kata Faiza sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi Prancis, AFP. Namun, ia menegaskan pekerjaan tersebut sangat diperlukan di Sudan.

Sebanyak dua juta orang tewas dalam perang di bagian utara-selatan Sudan, konflik selama 22 tahun yang terjadi karena masalah agama, ideologi, suku dan minyak.
Tentara pemerintah Sudan Utara dan pasukan pemberontak Sudan Selatan memasang ranjau guna melindungi berbagai posisi strategis, sementara mortir, roket dan bom ditembakkan dari masing-masing pihak. Perang tersebut berakhir dalam persetujuan perdamaian 2005, tapi warisan berbahaya perang tetap tersembunyi di dalam tanah, dan laporan mengenai kematian --atau bagian tubuh yang putus-- oleh bahan peledak yang tersisa terlalu sering terjadi.

"Masyarakat ingin memanfaatkan lahan untuk membangun kembali sekolah," kata penyapu ranjau Tabu Monica Festo, yang memakai jaket pelindungnya sebelum kembali ke koridor penanda merah ke dalam daerah berbahaya di sekitar Bungu.
"Jadi kami membersihkan lahan itu buat mereka, sehingga mereka dapat tinggal di sini (Bungu)," katanya. Bungu, tempat permukiman kecil yang berada di antara perbukitan yang dipenuhi pohon sekitar 50 kilometer dari ibukota Sudan Selatan, Juba, di jalur pasokan utama ke arah perbatasan Uganda, dulu menjadi daerah pertempuran sengit selama masa perang. Tabu dan teman-temannya bertugas bergiliran selama 45 menit di bawah sengatan sinar mentari dengan memakai jaket pelindung dari ledakan bom, secara perlahan menyusur maju hanya setelah setiap sentimeter tanah diperiksa dan diamankan.

"Ada sesuatu di sana, karena pendeteksi logam mengeluarkan suara berbeda," kata Faiza. Ia mendengarkan sementara bunyi bernada tinggi melengking dari mesin yang dipegangnya mengungkapkan kemungkinan adanya bahan peledak di bawah tanah. "Kemudian, kami secara manual akan membongkar tanah untuk memeriksa apa yang ada di bawah tanah," katanya. Para penyapu ranjau tak diperkenankan mengangkat pelindung wajah dari plastik yang berat di dalam daerah berbahaya, dan mereka hanya dapat minum air saat jeda 15 menit di daerah aman. Saat makan siang, di tenda yang menjadi kamp di luar ladang ranjau, semua perempuan tersebut tertawa bersama pemimpin tim mereka, yang sedang hamil dan untuk sementara bertugas di bagian logistik. "Karena semua anggota tim adalah perempuan, kami semua merasa lebih baik untuk melakukan pekerjaan," kata pemimpin tim itu, Jamba Besta, yang akan menjalani cuti melahirkan selama tiga bulan dan sembilan bulan berikutnya akan melaksanakan tugas kantor, sebelum diperkenankan kembali aktif sebagai penyapu ranjau.

Terbukti mampu "Kadangkala orang mengatakan perempuan tak dapat melakukan pekerjaan semacam itu, tapi mereka keliru: kami mampu," katanya. Sementara anggota lain tim memberi makan dan bermain dengan anak mereka, dan menata rambut masing-masing di tempat teduh di bawah pohon mangga yang rindang. Ada pembicaraan mengenai keluarga mereka di rumah di kota kecil pasar Yei, sekitar dua jam perjalanan ke sebelah Selatan kamp tersebut, dan pakaian apa yang mereka pakai ketika pulang untuk cuti. Tetapi tim itu telah memperoleh penghormatan dari kaum pria. "Perempuan melakukan pekerjaan sebaik yang dapat kami kerjakan," kata Atom Julius Pitia, seorang penyelia NPA dan mantan tentara pemberontak Sudan Selatan. "Benar bahwa kadangkala mereka lebih lamban, terutama ketika menggali tanah yang keras," kata Pitia. "Namun mereka juga seringkali lebih teliti dibandingkan dengan pria --dan dalam pekerjaan ini, itu adalah sesuatu yang sangat penting, karena anda tak ingin satu ranjau pun lolos," katanya. Tim di Sudan serupa dengan semua tim yang anggotanya perempuan di tempat lain di dunia, termasuk di Kosovo dan Kamboja, tapi itu adalah yang pertama di negara yang dicabik perang itu, kata Kjell Ivar Breili, manajer program NPA.

"Kami tak menghadapi masalah dalam bersaing atau minum bersama perempuan," kata Breili. Sejak perang berakhir, penyapu ranjau telah membuka jalan sepanjang 13.000 kilometer di Sudan Selatan, dan membersihkan lebih dari 813.000 bom yang tak meledak atau ranjau, kata Kantor Pembersih Ranjau PBB (UNMAO). Tim yang semua anggotanya perempuan tersebut juga telah membuat PBB terkesan. "Tim penyapu ranjau NPA yang semua anggotanya perempuan memperlihatkan bahwa perempuan dapat sama efektifnya dengan timpalan mereka, kaum pria, dalam menangani warisan ranjau dari perang saudara di Sudan," kata Joseph McCartan, Wakil Direktur UNMAO.

"Mereka digelar dengan tugas yang persis sama dengan kaum pria," katanya. Perempuan yang melakukan tugas berat menyadari resiko yang mereka hadapi tapi mereka mengangkat bahu dengan tidak peduli. "Jika anda mengikuti prosedur, itu tidak berbahaya," kata Festo. "Jauh lebih aman dibandingkan dengan jika orang berjalan di sini tanpa kami, yang membersihkan ranjau," katanya.

Post a Comment

0 Comments